Sabtu, 13 Februari 2010

Andai Lebih Panjang Lagi....

Jika kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.”(Al-Isra’: 7)

Hari itu ada seseorang yang meninggal dunia. Seperti biasanya, jika ada sahabat meninggal dunia, Rasulullah pasti menyempatkan diri mengantarkan jenazahnya sampai ke kuburan. Tidak cukup sampai di situ, pada saat pulangnya, Rasulullah menyempatkan diri singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musbah itu. Begitupun terhadap keluarga sahabat yang satu ini.

Sesampai di rumah duka, Rasulullah bertanya kepada istri almarhum, “Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia wafat?”

Sang istri yang masih diliputi kesedihan hanya tertunduk. Isak tangis masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah menjelang ajal, ya Rasulullah.”

Rasulullah tertanya, “Apa yang dikatakannya?”

“Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, aku tidak mengerti apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”

“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah lagi.

Istri yang setia itu menjawab, “Suamiku mengatakan ‘Andaikata lebih panjang lagi…. Andaikata yang masih baru… Andaikata semuanya….’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai….”

Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu membuat istri almarhum dan sahabat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru.” Beliau diam sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah aku ceritakan kepada kalian agar tak lagi heran dan bingung.”

Sekarang, bukan hanya istri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul akhir zaman itu. Ingin mendengar apa gerangan sebenarnya yang terjadi.

“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai. “Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang bertujuan sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal shalihnya itu. Lalu ia pun berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya adalah andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya akan jauh lebih besar pula.”

Semua anggota keluarga itu sekarang mengangguk-angguk kepalanya. Mulai mengerti sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang istri yang semakin penasaran saja.

Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk shalat Subuh, cuaca dingin sekali. Di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suaminya membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia pun mencopot mantelnya yang lama yang tengah dikenakannya dan diberikan kepada si lelaki tua itu. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dikatakan suami selengkapnya.”

“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.

Dengan penuh kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingkatkah engkau ketika pada suatu waktu suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Ketika itu engkau segera menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi hanya separuh. Sebab, andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda pula.’”

Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang telah terjadi kepada suami dan ayah mereka ketika akan menjelang wafatnya. Kelapangan telah ia dapatkan karena ia tidak sungkan untuk menolong dan memberi.

3 MACAM HATI

Tiga Macam Hati
Perhatikan hatimu, karena perbuatanmu tergantung kondisi hatimu! Rasulullah Saullalahu alaihi wassallam mengingatkan kalau hati seseorang itu baik, maka seluruh perbuatannya akan baik, tetapi kalau ia rusak, maka seluruh perbuatannya akan menjadi rusak.

Dalam ayat 52-54 Surat al-Hajj, Allah Subhanallahu wa ta,ala berfirman tentang tiga macam hati manusia: Hati yang sehat, hati yang mati dan hati yang sakit.

Hati yang sehat adalah hati yang bersih dari segala macam penyakit. Ia tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah , bukan kepada keinginan dirinya sendiri. Perbuatan hati dan perbuatan fisiknya dilakukannya semata karena Allah Subhanallahu wa ta,ala. Kalau ia harus marah, maka ia marah karena Allah menyuruhnya. Kalau ia mencitai, maka ia mencintai karena Allah. Hawa nafsu tidak punya kuasa terhadap orang macam ini. Setan tidak bisa mendiktenya, karena ia telah benar-benar menjadi hamba Allah, bukan hamba hawa nafsunya apalagi hamba setan. Allah Subhanallahu wa ta,ala berfirman,
"sesungguhnya kepada hamba-hamba-Ku, engkau (setan) tidak memiliki kekuasaan".
(QS. Al-Hajr, 42).

Sementara itu, hati yang mati adalah hati yang keras bagi batu yang tidak menerima rembesan air. Cahaya hikmah tidak digubris oleh hati macam ini. Ia memperturutkan segala keinginan hawa nafsu, tanpa kekangan, tanpa hambatan, tidak peduli halal atau haram. Semuanya diterabas. Ia tidak peduli apakah segala perbuatannya mengundang murka Tuhannya atau tidak. Perbuatan hati dan fisiknya betul-betul dikendalikan oleh hawa nafsunya: cinta dan bencinya karena hawa nafsunya, melakukan atau tidak melakukan sesuatu juga karena hawa nafsunya. Ia lebih mementingkan kepuasan hawa nafsunya, ketimbang ridha Allah Subhanallahu wa ta,ala. Berteman dengan orang semacam ini adalah kecelakaan, karena ia adalah budak setan atau bahkan setan itu sendiri!

Sedangkan hati yang sakit menempati posisi antara dua macam hati di atas. Penyakitnya bisa parah, bisa juga ringan. Jika penyakitnya ringan, ia lebih dekat ke hati yang sehat. Tetapi jika penyakitnya parah, ia lebih dekat ke hati yang mati. Masih ada cahaya iman dalam hati yang sakit ini. Kadang-kadang ia mengikuti kehendak Tuhannya, namun kadang-kadang ia mengingkari dan menjauh dari ridha Allah Subhanallahu wa ta,ala.
Hati macam ini masih dihuni, misalnya oleh penyakit dengki, sombong, ingkar nikmat, dll. Orang yang punya hati macam ini mengaku beriman, tetapi masih korupsi, misalnya. Ada harapan sehat bagi hati macam ini, asal ia terus diobati; dibersihkan dari sifat-sifat yang tecela dan diisi dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan demikian, ia bisa terus menolak bujukan berbuat maksiat dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik.

Tentu saja kita berharap tidak memiliki hati yang mati. Apalah gunanya badan hidup dan bergelimang kelezatan tetapi hati mati dan dimurkai Allah. Jika memang hati kita masih sakit, tentu saja harus kita lihat dulu seberapa parah penyakit yang kita derita. Bisikannya bisa kita dengar, apakah ia lebih sering membisikan kebaikan atau keburukan. Tentu saja kita berharap memiliki hati yang sehat. Inilah harta paling berharga yang bisa kita bawa sebagai modal keselematan kita kelak di akhirat.
Allah Subhanallahu wa ta,ala berfirman:

"pada hari ketika tidak lagi berguna harta benda dan anak-anak kecuali dia yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat".
(QS. As-Syuara', 88-89).